Jumat, 31 Desember 2010

PERTUMBUHAN PERKOTAAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM EKOLOGI

Pendahuluan
Penelaahan sehubungan perkembangan kota-kota senantiasa menjadi bidang kajian yang menarik. Sedemikian jauh kota sebagai suatu sistem, lebih banyak diperhatikan sebagai bagian dari proses dan tujuan dari pembangunan ekonomi maupun politik. Kenyataan demikian dengan mudah terlihat terutama di negara-negara sedang berkembang (NSB), dimana selain dipersepsikan sebagai tolok ukur pembangunan ekonomi, kota juga sering dimanfaatkan sebagai alasan untuk melegitimasi keputusan politik tertentu yang seringkali secara tidak langsung merusak sistem perkotaan dan perekonomian secara keseluruhan. Pemegang keputusan politik secara dangkal umumnya kemudianpelaku ekonomi perkotaan yang seringkali dilandasi oleh vested interest.
Perspektif pembangunan perkotaan juga telah menjadi bahasan penting dalam kerjasama internasional. Secara bilateral, telah dirumuskan mekanisme kerja sama budaya melalui twin city atau sister city. Sedangkan secara multilateral, Bank Dunia sudah masuk cukup jauh di dalam technical assistance menangani permasalahan kota maupun upaya-upaya mengkajinya secara akademis dan konsepsional. Hasil sementara (karena senantiasa dalam proses) dari kerjasama tersebut agaknya cukup beragam. Banyak faktor—sosial, ekonomi, dan politik—yang mempengaruhi kinerja sistem perkotaan. Beberapa contoh kota yang berhasil, misalnya Singapura dan Tokyo, lebih disebabkan mampu membangun mekanisme homeostasis secara baik. Di lain pihak, Mexico City, Bangkok, atau Jakarta bahkan tumbuh menjadi fully subsidized city yang kenyataannya berakibat bukan saja menghancurkan (baca: menghabiskan) hinterlandnya tetapi secara fungsional juga tergantung dari international energy flows.
Perkembangan Perkotaan
Sejarah pembangunan atau perkembangan kota sangat terkait dengan keberadaan umat manusia di muka bumi. Ringkasnya, paling tidak dikenal empat fase (Sargent II, 1974; Boyden, 1996): (1) jaman purba (primeval phase), (2) pertanian tradisionil (early farming phase), (3) perkotaan tradisionil (early urban phase), dan (4) industri modern (modern industrial phase). Fase ke tiga dimulai lima ribu tahun yang lalu, dengan fenomena Mesopotamia dan disusul kemudian beberapa kota di India dan Cina. Kota-kota ini ukurannya relatif lebih besar dalam hal populasi dan kebanyakan penduduknya tidak secara langsung terlibat dengan aktifitas yang subsisten. Adapun kebutuhan penduduknya adalah disuplai (baca: disubsidi) oleh surplus produksi dari para petani yang bermukim dan bekerja di luar kota. Pada fase ini terjadi perubahan yang mendasar yang mempengaruhi organisasi kemasyarakatan dan ekspresi pengeluaran energi dibanding pengalaman hidup (sebelumnya) dari anggota-anggotanya.
Fase perkotaan tradisionil ini juga dicirikan oleh semakin meningkatnya jumlah populasi (biosocial development) yang kemudian menghasilkan interaksi dengan lingkungannya (termasuk munculnya penyakit-penyakit kota misalnya typhus, cholera, smallpox, atau malaria), relatif kecil keragaman dalam konsumsi makanan, spesialisasi pekerjaan (termasuk gender) yang berhirarki, dan munculnya konsep kepemilikan.
Transisi dari fase perkotaan tradisionil ke fase industri modern berlangsung pertama kali saat Revolusi Industri di Amerika Utara dan Eropa sekitar 150 hingga 200 tahun yang lalu, dan ini pun sedang terjadi di beberapa kota NSB. Fase ini tergolong singkat dalam ukuran waktu. Namun demikian dampaknya sangat hebat terhadap permukaan bumi dan implikasinya. Karakteristik ekologi perkotaan tidak lagi sejalan dengan human existence phases seperti yang diilustrasikan dalam (keseimbangan) siklus populasi, energy, dan biogeochemical. Pada keadaan ini yang sebenarnya terjadi adalah interaksi kenaikan sumberdaya, use of energy, dan waste production yang berjalan secara masif dan mengakibatkan tekanan maupun jenis ancaman baru (entropy) terhadap lingkungan (biosphere). Kota-kota yang berkembang pada masa transisi itu masih dapat kita lihat seperti sekarang, misalnya London, Paris dan kota besar lainnya.
Perkembangan kota-kota di NSB lain lagi. Begitu selesai perang dunia ke dua, ada gelombang besar-besaran munculnya negara-negara baru pasca kolonial. Diiringi urbanisasi yang masif, kota-kota di NSB berkembang sangat pesat sejalan dengan perhatian sektor ekonomi yang percepatan pertumbuhannya terus dipacu untuk mengejar ketertinggalannya. Pertumbuhan konsumsi sumberdaya lahan, air, energi, dan biomasa meningkat terus, menjadikan kota makin penting perannyaumumnya menyumbang lebih dari 50 persen GDP bahkan mencapai 70 persen di Amerika Latin. Akibatnya deskripsi maupun proyeksi perkembangan perkotaan NSB sungguh sangat memprihatinkan. Kalau pada tahun 1960 hanya tiga dari sepuluh kota besar di dunia ada di NSB maka pada tahun 2000 nanti akan menjadi delapan. Diantaranya adalah Mexico City (lebih dari 25 juta), Sao Paulo (22 juta), diikuti oleh Bombai, Calcutta, dan Shanghai. Tiga kota terakhir adalah kota-kota termiskin dengan populasi lebih dari 15 juta (Mahbub Ul Haq, 1995). Secara umum di NSB (Serageldin, 1995) akan diperoleh kenaikan sejumlah 2.4 miliar jiwa selama periode 1990 hingga 2020, atau setara satu juta orang tiap minggu selama 30 tahun. Dan data 1990 (Tabel 1) menunjukkan bahwa ada sejumlah 281 kota dengan penduduk di atas satu juta jiwa (million cities), sebagian besar terkonsentrasi di Benua Asia—setara tiga per lima populasi dunia, dua per lima populasi penduduk kota seluruh dunia, dan lebih dari dua per lima populasi million cities.
Tabel 1. Distribusi Penduduk Perkotaan, Pedesaan dan Dunia 1990
Wilayah

Total
Populasi
(Juta)
Persen Penduduk Dunia
Jumlah

Total
Populasi
(Persen)
Populasi
Pedesaan
(Persen)
Populasi
Perkotaan
(Persen)
Populasi
millioncities
(persen)
Millioncities

Megacities1)

Dunia
5285
100.0
100.0
100.0
100.0
281
12

Afrika
633
12.0
14.4
8.8
7.5
25
0

Asia
3186
60.3
72.2
44.5
45.6
118
7

Eropa
722
13.7
6.7
22.8
17.9
61
0

Amerika Latin
440
8.3
4.2
13.8
14.7
36
3

Amerika Utara
278
5.3
2.3
9.2
13.1
36
2

Oceania
26
0.5
0.3
0.8
1.3
5
0


1) Jumlah penduduknya di atas 10 juta jiwa antara lain: New York, Los Angeles, Tokyo, Osaka, Seoul,
Beijing, Shanghai, Bombai, Calcutta, Sao Paulo, Mexico City, dan Buenos Aires.
Sumber: United Nations Centre for Human Settlements (1996) compiled by Nature and Resources Editor
(1996) Vol 32 No 2.
Fenomena tersebut segera saja mewarnai kajian tentang perkotaan, dan bahkan kemudian mendominasi substansi dalam cakupan yang lebih luas: makroekonomi, dimensi spasial, rendahnya produktifitas, kemiskinan, dan lingkungan (World Bank, 1991). Muncul permasalahan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, yang tercakup dalam aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan di NSB bahkan di negara maju sekalipun meliputi water supply, household waste, industrial waste, transportation, dan urban land (Kingsley et al., 1994). Disinilah kemudian memunculkan banyak keraguan sekaligus pertanyaan tentang dimensi utama bagi keberlanjutan pembangunan kota.
Studi dan Strategi Pembangunan Perkotaan
Sistem perkotaan sejak tahun 1970an dipandang sebagai studi yang interdispliner melibatkan pemikiran-pemikiran ecologist yang difokuskan ke dalam human system. Namun perkembangan ini tidak segera menampakkan hasilnya karena isyu ekologi hanya sebagai window dressing. Baru ketika UNESCO mendirikan program Man and Biosphere, kota dianggap sebagai ecological system, mencakup spektrum yang luas dari unsur-unsur biogeography, bioclimate, ekonomi, sosial, budaya, politik dan situasi-situasi pembangunan—yang memberikan perbaikan pengetahuan dan pemahaman kompleksitas human system dan membangun dasar-dasar paradigma ekologi sistem perkotaanhinterland-industri. Sasarannya adalah untuk meningkatkan efisiensi, self sufficiency, humanness of city, dan meminimkan dampaknya terhadap hinterland dalam upaya membuat mereka lebih sustainable, conserving dan livable (Celecia, 1996).
Studi perkotaan dalam perkembangannya juga disinergi oleh munculnya kesadaran upaya-upaya penyelamatan bumi pada awal tujuh puluhan tahun. Pada tahun 1972 ketika konferensi Bumi di Stochholm, Swedia berlangsung, masyarakat dunia (diwakili tujuh pemimpin dunia) berhasil menetapkan apa yang disebut Brown Agenda’. Agenda ini adalah cermin keprihatinan dari dampak buruk industrialisasi perkotaan (terutama negara-negara maju) yang menghasilkan polusi air dan udara perkotaan. Akan tetapi cakupan agenda ini sesungguhnya ‘sempit dan myopic’. Tidak lama kemudian diperbaharui lagi menjadi ‘Green Agenda’ yang spektrum substansi maupun pendekatannya meluas—mengikat dan melibatkan individu dan kelembagaan mulai tingkat lokal hingga global termasuk di dalamnya ekosistem desa dan kota dan kaitan-kaitannya. Sistem perkotaan yang dipelajari berdimensi intergeneration (Serageldin, 1995) dengan sasaran (1) menghapus kemiskinan, (2) melindungi lingkungan, dan (3) meningkatkan produktifitas perkotaan. Keadaan demikian memberi kesimpulan bahwa agenda pembangunan perkotaan terletak pada permasalahan warganya (a human problem). Permasalahan ini secara langsung atau tidak akan terasakan dalam beragam aktifitas manusianya, mempengaruhi kehidupan orang-orang miskin dan anak-anaknya, hingga kepada penurunan efisiensi sistem produksi masyarakat secara keseluruhan.
Gambar 1. Sustainability dan kenaikan stock capital per kapita
(Serageldin, 1996)
Perhatian untuk menghapus kemiskinan, melindungi lingkungan, dan meningkatkan produktifitas perkotaan merupakan cerminan dari apa yang disebut triangle of sustainability (Serageldin, 1996), yang di dalamnya terdiri dari interaksi tujuan-tujuan (dimensi) ekonomi, sosial, dan ekologi yang saling melengkapi dan melindungi satu sama lain. Konsepsi lainnya yang sedang dikembangkan Bank Dunia adalah apa yang dikenal sustainability as opportunity. Konsep ini berangkat dari definisi berikut:
Sustainability is to leave future generations as many opportunities as we
ourselves have had, if not more.
Konsep ini memandang bahwa pembangunan akan sustainable jika di dalamnya memberikan generasi mendatang income disertai opportunity pertumbuhan capital (minimal sama dengan generasi sekarang) yang dapat diperlihatkan dengan relatif lebih tinggi capital per kapita dibanding generasi sekarang (Gambar 1). Modal-modal itu dapat dilukiskan sebagai human capital (investasi dalam pendidikan, kesehatan, atau gizi), social capital3 (fungsi dan keberadaan kelembagaan dan budaya dalam masyarakat), natural capital (fungsi dan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan) dan man-made capital (investasi yang umumnya terhitung dalam anggaran perekonomian). Dua modal yang pertama proporsi dan jumlah mutlaknya senantiasa naik sedangkan dua modal jumlah mutlaknya boleh konstan. Yang menarik untuk dikaji dari modal-modal di atas dan menentukan tingkat sustainability adalah tidak terhindarkannya substitusi dari salah satu diantaranya. Pembangunan, termasuk di perkotaan, menjadi weak sustainability karena di dalamnya mencerminkan tingkat substitusi yang tinggi antara modal-modal di atas tanpa memperhatikan komposisi akhir modal. Dalam hal antara social capital dengan man-made capital misalnya hilangnya kesempatan bercengkerama dengan tetangga akibat kesibukan kerja. Sementara sensible sustainability memcerminkan tingkat subsitusi yang ‘berhati-hati’ sehingga berkurangnya salah satu modal diimbangi oleh tambahan modal lainnya.
Konsep Aliran Energi
Menelaah lebih mendalam terhadap lingkungan perkotaan sebagai ecological system, berarti melihat berbagai aliran-aliran energi, materi dan informasi di antara berbagai komponen dan human system yang ada di dalamnya. Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan Rambo (1981), yaitu the system model of human ecology, maka dinamika sistem perkotaan juga dapat dilukiskan sebagai proses kontinyu dari interaksi antara subsistem sosial (social system) dan subsistem ekologi (ecosystem). Sebagai sebuah sistem terbuka, sistem perkotaan dapat menerima input dari dan mengeluarkan output energi, materi dan informasi ke subsistem sosial dan ekologi lainnya. Aliran input dan output itu selain mempengaruhi internal dinamic melalui struktur dan fungsi dari setiap komponen juga mencerminkan integritas dan dinamika dari sistem secara keseluruhan. Begitu komplek interaksi yang terjadi, Rambo mengemukakan pentingnya kecermatan dan kehati-hatian di dalam menelaah human system. Sebagai konsekwensinya, pemahaman yang mendalam tersebut adalah kunci dan guidance bagi kajian dan penelitian tentang interaksi manusia dan lingkungannya, tercakup di dalamnya sistem perkotaan.
Gambar 2. Model sederhana dinamika sistem perkotaan
Lebih lanjut, di dalam dinamika pertumbuhan dan perkembangan lingkungan perkotaan berlaku beberapa kaidah-kaidah atau konsepsi ekologis penting. Melalui model yang disederhanakan (Gambar 2), beberapa hal tersebut dikemukakan. Dikemukakan Odum (1971), perkotaan merupakan gambaran sistem tropik yang didominasi oleh konsumen. Mereka menggantungkan input materi (bahan pangan dan bahan baku), energi (bahan bakar, makanan) dan informasi (ilmu dan teknologi) dari subsistem ekologi dan sosial yang lain. Lebih meluas, input ini bisa berasal dari hinterland sekelilingnya, dari kota-kota fungsional lainnya, dan dari pengaruh internasional. Kota-kota di negara sedang berkembang dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi umumnya menerima tiga jenis macam input tersebut. Sedangkan kota di negara maju, misalnya di Amerika Serikat dimana proporsi ekspor dan impor dibanding output nasionalnya kecil, maka input domestik lebih dominan. Kenyataan demikian nampaknya juga berlaku sama dalam sistem sosial maupun ekologis.
Gambar 3. Human activity systems (Gayden, 1974)
Aliran input kemudian ikut menjalankan beragam proses dan mekanisme yang komplek, yang sering dipersepsikan oleh ekonom sebagai keseimbangan (general equilibrium) dan interaksi dari kegiatan produksi dan konsumsi. Proses yang terjadi sangat dipengaruhi tingkat perkembangan perkotaan. Kota-kota yang mencirikan sifat-sifat dualistik, yaitu kerberadaan sektor modern dan tradisionil yang memisah, umumnya masih memperlihatkan share sistem produksi pertanian.
Sebaliknya kota-kota yang telah berkembang, selain share pertaniannya telah menurun, juga telah mengalami division of labor yang tinggi disertai dengan perubahan struktur spasial perkotaan dalam rangka mengimbangi mobilitas manusianya (Mohan, 1994). Aktifitas manusia kemudian dengan mudah dibedakan berdasar intensitas lokasi (separated spatially) antara rumah, kantor dan rekreasi (Gambar 3) didukung mode dan teknologi transportasi yang beragam.
Kebijaksanaan Pembangunan Perkotaan
Kota sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem sosial dan ekologis hendaknya dipandang secara menyeluruh dalam berbagai kaitannya, sejak dari tataran mikro hingga sudut pandang agregat ekonomi makro. Bahkan hal ini makin penting bagi negara berkembang karena kota dijadikan lokomotif utama pembangunan ekonomi. Disini kebijaksanaan fiskal sebagai bagian dari mekanisme homeostasis (oleh pemerintah) memegang peranan penting dalam perkembangan kota meskipun kebijaksanaan moneter juga tidak boleh diremehkan. Jauh lebih penting, terselenggarakannya iklim yang kondusif bagi berkembangnya social capital (interaksi antara pemerintah, private sector dan masyarakat) yang secara otonom mampu mengoperasikan pengambilan keputusan yang efektif (governance mechanisme) bagi tercapainya output dan steady state yang tinggi disertai keberlanjutannya.
Kerangka konseptual untuk menyusun kebijaksanaan pembangunan perkotaan khususnya di negara berkembang setidaknya mencakup empat aspek. Pertama, upaya-upaya peningkatan proses aktifitas ekonomi perkotaan yang di dalamnya diperkuat oleh komitmen mengembangkan pemahaman masalah ekologis perkotaan secara menyeluruh sekaligus menyangkut pembangunan pedesaan. Paling tidak harus dipecahkan empat kendala yang berpotensi menghambat peningkatan produktifitas: (1) menyediakan sarana infrastruktur perkotaan dengan tujuan agar mengefisienkan proses aktifitas ekonomi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan lapangan kerja, (2) meningkatkan efektifitas pengaturan alokasi lahan (zoning) agar memberikan kepastian dalam aktifitas produksi dan keberlanjutannya, (3) meningkatkan efektifitas manajemen perencanaan dan
pembangunan sarana infrastruktur perkotaan sehingga tidak menimbulkan masalah dalam
pembeayaannya., dan (4) meningkatkan dukungan sektor finansial bagi investasi dan perbaikan sarana infrastruktur, perumahan, maupun kegiatan ekonomi perkotaan lainnya.
Kedua, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin perkotaan secara langsung (social
safety) dengan memperbaiki kehidupannya, meningkatkan akses kepada infrastruktur dan fasilitas jasa sosial, dan meningkatkan permintaan akan tenaga kerjanya. Disini upaya yang dapat dilakukan adalah (1) melakukan pendidikan dan latihan untuk meningkatkan skill dan wawasannya, (2) menjamin akses golongan miskin terhadap fasilitas jasa-jasa sosial dan infrastruktur, dan (3) dalam jangka pendek adalah memberikan proyek agar dapat mengamankan nasibnya. Ketiga, upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup spesifik kepada masyarakat miskin dan secara umum beban pencemaran lainnya (social rehabilitation). Diperlukan suatu pendekatan konprehensif, sesuai kaidah-kaidah ilmiah, untuk memahami permasalahan lingkungan perkotaan sehingga dapat dirumuskan kebijaksanaan yang paling tepat. Ini disebabkan dampak lingkungan, kecuali yang dapat diamati, lebih bersifat akumulatif dan spasial sehingga memerlukan cara penanganan yang spesifik dan mungkin pula pengambilan keputusan secara regional. Namun demikian bagi dampak yang langsung dirasakan sangat bijaksanan kalau segera dilakukan
penanganannya, misalnya yang menyangkut sanitasi. Keempat, membangun persepsi yang sama (social equality) tentang permasalahan pembangunan perkotaan di antara berbagai pihak: pemerintah, industri, dan konsumen. Semua pihak (stakeholders) hendaknya mampu duduk bersama melihat keadaan dan mengidentifikasikan permasalahan perkotaan dan kaitan-kaitannya secara obyektif.
Masing-masing mengemukakan argumen dan persepsinya untuk kemudian ditarik benang merah permasalahannya. Perumusan kebijaksanaan hendaknya dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan setiap detil pendapat stakeholders. Penyamaan persepsi ini sekaligus pula menekan keragu-raguan (stop and go policy) pengambil keputusan yang selama ini sering terjadi dan mengakibatkan kegagalan pembangunan perkotaan.

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

1 komentar:

  1. @OP=> Lanjutkan, bagi temen yang lain bisa ikut share materi kirim aja ke tekling06@gmail.com

    BalasHapus